Dikenal Sebagai Kendaraan Elite Zaman Belanda
Pada zamannya dahulu, Cibadak merupakan wilayah karesidenan Bogor. Pada era kolonial Belanda, setiap sudut kota Cibadak mengalami perubahan tata ruang dengan bukti fisik pembangunan yang kini sisanya masih bisa jelas terlihat. Akses Infrastruktur berupa sarana seperti rel kereta dan jalan serta jembatan menjadi prioritas, disamping bangunan pemerintahan, pemukiman dan perdagangan. Namun sejalan jaman, saat ini berbagai perubahan. Bangunan sudah milik rakyat termasuk pertokoan. Hanya satu yang terisa yakni kendaraan kereta kuda yang akrab disebut Nayor.
ANDRISOMANTRI-Cibadak
NAYOR Merupakan kendaraan yang pada masa jayanya dulu adalah sarana transportasi para gegeden, juragan, para mandor, atau pejabat tinggi kala itu. Kendaraan nayor hanya untuk petinggi, rakyat jelata hanya pada saat itu hanya dapat bermimpi menaikinya. Sebab, kendaraan ini merupakan jenis satu-satunya. Maka dapat diperkirakan puluhan nayor yang beroperasi setiap harinya melintas di kawasan Cibadak.
Menurut beberapa tokoh sejarah, harga sebuah nayor bisa mencapai puluhan Gulden penentu harga sebelum rupiah. Harganya bisa menyaingi harga mobil mercy. Ongkos untuk kendaraan nayor tidak akan mampu dibayar kaum rakyat kecil, seakan nayor sebuah taksi yang menggunakan argo waktu itu. Nayor pun mempunyai jalur khusus dan lokasi untuk mangkal, sekitar kawasan Sekarwangi dan Leuwi goong, Kampung Pojok yang saat ini ada merupakan kawasan mangkal nayor.
“Nayor memang kendaraan sakti saat itu, sejarahnya turun temurun. Waktu itu harga nayor sangat mahal, layaknya mobil. Nayor dimiliki oleh juragan yang kaya, tidak ada kendaraan lain selain nayor. Maka di zaman jayanya, nayor adalah sarana tranportasi orang elite, para menak,” ungkap H. Dadun tokoh warga Cibadak yang pernah merasakan asam manis sebagai kusir.
Awal mula lahirnya nayor di kota Cibadak tidak ada yang mengatahui pasti. Pasalnya sejak Dadun lahir Nayor sudah ada, dan bentuknya tidak berbeda jauh dari dahulu. Menurutnya Nayor berbeda dari kereta kuda lainya, hal ini dapat dilihat dari sfesifikasi roda dan bentuk kereta. Roda lebih kecil, dan kereta tertutup rapi. ” Coba bandingkan dengan andong rodanya lebih besar,” jelas Dadun sembari menunjuk sala satu bagian nayor.
Zaman semakin maju, keterbatasan kaum tinggi dan menegah sudah tidak ada usai kemerdekaan. Rakyat biasa dapat sepuasnya menaiki nayor dengan harga yang terjangkau. Namun bersamaan itu, masa keemasan nayor mulai luntur. Kendaraan era modern hadir memadati jalanan Cibadak, keberdaaan Nayor dengan mesin murni tenaga kuda mesti bersaing cepat dengan mobil dan motor.
“Saat itu nayor mulai dilupakan, mobil dan motor menjadi pilihan sebab dengan mobil dan motor warga merasa efiseins. Angkutan barang dapat cepat diangkut tanpa ada batasan. Ongkos pastinya lebih murah,” ujarnya.
Kendati demikian Nayor masih punya tempat di hati warga Cibadak, pasalnya merupakan saksi sejarah Cibadak dari jaman transisi. Dengan demikian Nayor masih dapat ditemui di jalur Cibadak, lokasi mangkal berada di jalan Surya kencana atau Labora. Kendati kini hanya melayani rute dekat saja.
Menurut beberapa tokoh sejarah, harga sebuah nayor bisa mencapai puluhan Gulden penentu harga sebelum rupiah. Harganya bisa menyaingi harga mobil mercy. Ongkos untuk kendaraan nayor tidak akan mampu dibayar kaum rakyat kecil, seakan nayor sebuah taksi yang menggunakan argo waktu itu. Nayor pun mempunyai jalur khusus dan lokasi untuk mangkal, sekitar kawasan Sekarwangi dan Leuwi goong, Kampung Pojok yang saat ini ada merupakan kawasan mangkal nayor.
“Nayor memang kendaraan sakti saat itu, sejarahnya turun temurun. Waktu itu harga nayor sangat mahal, layaknya mobil. Nayor dimiliki oleh juragan yang kaya, tidak ada kendaraan lain selain nayor. Maka di zaman jayanya, nayor adalah sarana tranportasi orang elite, para menak,” ungkap H. Dadun tokoh warga Cibadak yang pernah merasakan asam manis sebagai kusir.
Awal mula lahirnya nayor di kota Cibadak tidak ada yang mengatahui pasti. Pasalnya sejak Dadun lahir Nayor sudah ada, dan bentuknya tidak berbeda jauh dari dahulu. Menurutnya Nayor berbeda dari kereta kuda lainya, hal ini dapat dilihat dari sfesifikasi roda dan bentuk kereta. Roda lebih kecil, dan kereta tertutup rapi. ” Coba bandingkan dengan andong rodanya lebih besar,” jelas Dadun sembari menunjuk sala satu bagian nayor.
Zaman semakin maju, keterbatasan kaum tinggi dan menegah sudah tidak ada usai kemerdekaan. Rakyat biasa dapat sepuasnya menaiki nayor dengan harga yang terjangkau. Namun bersamaan itu, masa keemasan nayor mulai luntur. Kendaraan era modern hadir memadati jalanan Cibadak, keberdaaan Nayor dengan mesin murni tenaga kuda mesti bersaing cepat dengan mobil dan motor.
“Saat itu nayor mulai dilupakan, mobil dan motor menjadi pilihan sebab dengan mobil dan motor warga merasa efiseins. Angkutan barang dapat cepat diangkut tanpa ada batasan. Ongkos pastinya lebih murah,” ujarnya.
Kendati demikian Nayor masih punya tempat di hati warga Cibadak, pasalnya merupakan saksi sejarah Cibadak dari jaman transisi. Dengan demikian Nayor masih dapat ditemui di jalur Cibadak, lokasi mangkal berada di jalan Surya kencana atau Labora. Kendati kini hanya melayani rute dekat saja.
Jadi Simbol Perlawanan Terhadap Jepang
Nayor masih punya tempat di hati warga Cibadak. Kendati, saat ini menjadi alat transportasi jarak dekat saja. Pasalnya untuk menempuh jarak jauh, warga memilih kendaraan umum, seperti angkot atau ojek. Maka keberadaan Nayor seakan terpinggirkan.
ANDRISOMANTRI-Cibadak
DERETAN Kereta Nayor nampak memadati jalur trotoar Jalan Suryakencana, atau lebih dikenal dengan pusat pertokoan Labora Cibadak. Beberapa nayor nampak beroperasi lalu lalang mengangkut penumpang. Kuda sebagai “mesin” dipacu menarik kereta. Sang kusir telaten mengemudikan rahang kuda, penumpang hanya duduk menikmati.
Jalur lintas nayor saat ini hanya jarak dekat saja, sekitar kawasan Sekarwangi. Penumpang yang jarak dekat saja yang kebanyakkan naik. Adapun warga luar kota yang mengandalkan jasa nayor untuk berkeliling pasar tradisonal Cibadak.
Hanya dengan merogoh kantong Rp5 ribu, penumpang akan merasakan sensasi berbeda saat naik nayor. Padahal dahulu tidak sembarangan orang dapat menaiki nayor, hanya orang kaya saja. “ Ongkos cukup mahal,” kata Aswendo, tokoh masyarakat Cibadak.
Namun dibalik semua itu, keberadaan nayor semakin sedikit mengingat zaman semakin maju. Nayor harus bersaing ketat dengan kendaraan modern saat ini, tentunya dengan mesin. “ Dahulu nayor menguasai saranan angkutan kota ke desa. Pangkalannya berderet dari mulai Labora hingga jembatan Leuwigoong,” ungkap veteran pejuang ini.
“Apalagi saat ini para pemilik nayor mulai beralih ke usaha lain, kuda dijual, kereta dipajang di samping rumah. Hal itu terjadi karean pendapatan dari narik nayor yang kurang mendukung majunya ekonomi sang kusir.,” lanjutnya.
Beruntung, Nayor mengandung nilai sejarah yang banyak. Keberdaanya kini menjadi ikon kota Cibadak, setiap event nasioanl nayor selalu dilibatkan. Walau jumlahnya sedikit, namun penggemarnya masih banyak. Sekilas mengenai nayor yang terlibat dalam sejarah kemajuan Cibadak, masa keemasan dan kelestarian nayor dijaman modern.
“Bentuk kabin nayor itu adalah simbol perlawanan terhadap Jepang. Saking bencinya warga pribumi waktu itu, maka dibuatlah reflika bentuk kepala serdadu Jepang dalam bentuk kendaraan seperti nayor. Lihat saja secara seksama bentuknya. Sangat mirip dengan kepala serdadu Jepang yang kepalanya tertutup topi berkain di belakang,” jelasnya. (***)
Jalur lintas nayor saat ini hanya jarak dekat saja, sekitar kawasan Sekarwangi. Penumpang yang jarak dekat saja yang kebanyakkan naik. Adapun warga luar kota yang mengandalkan jasa nayor untuk berkeliling pasar tradisonal Cibadak.
Hanya dengan merogoh kantong Rp5 ribu, penumpang akan merasakan sensasi berbeda saat naik nayor. Padahal dahulu tidak sembarangan orang dapat menaiki nayor, hanya orang kaya saja. “ Ongkos cukup mahal,” kata Aswendo, tokoh masyarakat Cibadak.
Namun dibalik semua itu, keberadaan nayor semakin sedikit mengingat zaman semakin maju. Nayor harus bersaing ketat dengan kendaraan modern saat ini, tentunya dengan mesin. “ Dahulu nayor menguasai saranan angkutan kota ke desa. Pangkalannya berderet dari mulai Labora hingga jembatan Leuwigoong,” ungkap veteran pejuang ini.
“Apalagi saat ini para pemilik nayor mulai beralih ke usaha lain, kuda dijual, kereta dipajang di samping rumah. Hal itu terjadi karean pendapatan dari narik nayor yang kurang mendukung majunya ekonomi sang kusir.,” lanjutnya.
Beruntung, Nayor mengandung nilai sejarah yang banyak. Keberdaanya kini menjadi ikon kota Cibadak, setiap event nasioanl nayor selalu dilibatkan. Walau jumlahnya sedikit, namun penggemarnya masih banyak. Sekilas mengenai nayor yang terlibat dalam sejarah kemajuan Cibadak, masa keemasan dan kelestarian nayor dijaman modern.
“Bentuk kabin nayor itu adalah simbol perlawanan terhadap Jepang. Saking bencinya warga pribumi waktu itu, maka dibuatlah reflika bentuk kepala serdadu Jepang dalam bentuk kendaraan seperti nayor. Lihat saja secara seksama bentuknya. Sangat mirip dengan kepala serdadu Jepang yang kepalanya tertutup topi berkain di belakang,” jelasnya. (***)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=20915
ternyata saya baru tau kalo nayor itu sejarah nya bisa sehebat itu...ckckckkk saya malu jadi orang cibadak yg baru tau kalo sejarah nayor itu lebih keren ketimbang film superman...poko na hidup NAYOR.....
BalasHapusasik infona ,jadi inget keur balik sakola ka labora naek nayor trus nga mie ayam di labora nu jalur tengan poho ngaran tukang dangan mie ayam na mang...naon tah,jadi kudu nostalgia jalan 2 ka lobara yeuh
BalasHapus